Cerpen Gao Xingjian (Koran Tempo, 27 Mei 2012)
“AKU sudah lama tidak jalan-jalan di taman. Aku tak pernah
punya waktu senggang. Atau tak hendak lagi.”
“Semua orang juga sama. Setelah bekerja, orang cepat-cepat pulang. Hidup
selalu terburu-buru.”
“Kuingat saat kecil, aku sangat suka menyambangi taman ini. Berguling-guling
di atas rerumputan.”
“Biasanya aku datang bersama ayah dan ibu.”
“Aku sangat suka taman saat ada anak-anak lain.”
“Ya.”
“Khususnya saat kau juga ada.”
“Aku ingat.”
“Dulu rambutmu dikepang dua.”
“Dulu kau selalu memakai celana jengki, dan kau sangat sombong.”
“Kau tidak ramah, selalu angkuh.”
“Benarkah?”
“Ya, tak ada yang berani melawanmu.”
“Tak ingat. Tapi aku suka main denganmu, bahkan pernah menyepak-nyepak bola
karet bersamamu.”
“Omong kosong. Kau tak pernah menyepak bola karet! Kau pernah memakai sepatu
putih mungil dan selalu takut mengotorinya.”
“Itu benar, ketika kecil aku suka memakai sepatu karet putih.”
“Kau dulu mirip seorang putri.”
“Tentu. Seorang putri yang memakai sepatu karet.”
“Lalu keluargamu pindah.”
“Betul.”
“Mulanya kau sering berkunjung hari Minggu, tapi kemudian jarang.”
“Aku sudah dewasa.”
“Ibuku sangat suka padamu.”
“Tahu.”
“Tidak ada anak perempuan di keluarga kami.”
“Setiap orang mengatakan kita mirip. Seperti kakak perempuan dan adik
laki-laki.”
“Jangan lupa kita seusia. Aku lebih tua dua bulan.”
“Tapi aku nampak lebih tua darimu. Aku selalu lebih tinggi selebar
sejengkal, seakan kakakmu.”
“Biasanya, gadis-gadis lebih cepat tinggi. Cukuplah itu, ayo kita bicara
yang lain.”
“Lalu, apa yang akan kita bicarakan?”
Jalan kecil di bawah pepohonan itu terapit cemara-cemara Jepang di kedua
sisinya. Di lereng di belakang cemara-cemara itu, perempuan muda yang memakai
rok dan membawa tas tangan merah itu duduk di bangku batu.
“Duduk dulu sebentar, ya.”
“Baiklah.”
“Matahari akan terbenam.”
“Ya, indah.”
“Aku tak suka keindahan palsu seperti ini.”
“Bukankah kau bilang suka berkunjung ke taman-taman?”
“Itu saat kecil. Aku tinggal di daerah pegunungan. Selama tujuh tahun aku
menjadi penebang kayu di hutan-hutan tua.”
“Kau dapat bertahan hidup.”
“Hutan sungguh mengagumkan.”
Perempuan muda yang mengenakan rok itu bangkit dari bangku batu dan melihat
ke ujung jalan yang rindang melewati cemara-cemara yang rapi. Beberapa orang
muncul dari arah itu, di antara mereka ada pemuda jangkung yang rambutnya jatuh
ke pelipis. Melalui pucuk-pucuk pohonan dan tembok, langit berwarna merah dan
merah muda matahari terbenam, dan awan beriak mulai menyebar persis ke atas
kepala.
“Sudah lama aku tak melihat matahari terbenam yang indah seperti ini. Langit
seperti terbakar.”
“Mirip lautan api.”
“Seperti apa?”
“Seperti hutan yang terbakar.”
“Baik, teruslah bicara.”
“Ketika ada kebakaran di hutan, langit persis seperti ini. Api menyebar
cepat dan kuat, dan tak ada waktu membabat hutan. Sungguh mengerikan. Semua
pohon roboh berterbangan ke udara, dan dari kejauhan kayu-kayu itu kelihatan
seperti serpihan jerami mengapung di dalam api, dan macan-macan tutul yang gila
keluar dari hutan dan menjatuhkan diri ke sungai, berenang tepat ke arahmu….”
“Tidakkah macan-macan tutul itu menyerang manusia?”
“Mereka telah memikirkannya.”
“Kau tidak menembak macan tutul itu?”
“Manusia juga terkejut. Dari tepi sungai mereka hanya menatap kosong ke arah
api.”
“Tidak berbuat apa-apa?”
“Sungai di gunung tak bisa menghentikannya. Pepohonan di sisi lainnya
hangus, mulai meretih, dan tiba-tiba pepohonan itu berjela-jela kebakaran.
Karena jaraknya lebih dari beberapa lidi sekitarnya sehingga penuh asap dan
sangat panas, kau tak dapat bernafas. Kau hanya bisa menunggu angin berubah,
meniup api ke arah sungai, menghabiskannya sampai padam.”
Perempuan muda yang memakai rok itu duduk lagi di bangku, dengan tas tangan
merah di sampingnya.
“Ceritakan lagi pengalamanmu masa itu.”
“Tidak banyak yang dapat diceritakan.”
“Mengapa tidak ada lagi yang bisa diceritakan? Semuanya sangat menarik.”
“Tapi tak banyak manfaatnya menceritakan itu semua sekarang. Ceritakanlah
apa yang kau kerjakan selama ini.”
“Aku?”
“Ya, kau.”
“Aku punya seorang anak perempuan.”
“Berapa tahun?”
“Enam.”
“Mirip seperti kau?”
“Semua orang bilang dia mirip aku.”
“Apakah dia mirip seperti saat kau kecil? Apa dia memakai sepatu karet
berwarna putih?”
“Tidak, dia suka memakai sepatu kulit. Ayahnya terus membelikannya sepasang
demi sepasang.”
“Kau beruntung. Nampaknya suamimu orang baik.”
“Dia cukup baik padaku, tapi tak tahu apakah aku beruntung atau tidak.”
“Dan apa pekerjaanmu juga cukup baik?”
“Ya, bila dibandingkan orang seusiaku, pekerjaanku semuanya berjalan baik.
Aku tinggal duduk di kantor, menjawab telepon, dan membawa berkas-berkas kepada
atasan.”
“Kau sekretaris?”
“Aku menjaga arsip.”
“Pekerjaan macam itu sangat rahasia. Artinya, mereka mempercayaimu.”
“Itu agaknya lebih baik dari buruh. Kau juga dapat melalui masa-masa sulit?
Karena kau kuliah, kukira kau punya pekerjaan profesional sekarang?”
“Ya, tapi itu semua berkat usahaku.”
Warna-warni matahari terbenam itu lenyap. Langit kini merah padam, namun di
cakrawala, di atas pucuk-pucuk pohon, ada pijar kuning jeruk di ujung awan
hitam. Di lereng, belukar itu menjadi gelap dan perempuan muda di bangku itu
duduk. Kepalanya menunduk. Dia nampak melihat jam tangan lalu berdiri. Dia
memegang tas tangan namun menurunkannya lagi ke bangku saat dia melihat jalan
setapak yang ada sisi agak jauh dari pohon-pohon cemara. Rupanya sambil melihat
bulan dekat awan-awan, dia beranjak dan mulai berjalan bolak-balik, matanya
menatap tanah.
“Dia sedang menunggu seseorang.”
“Menunggu seseorang itu mengerikan. Sekarang para pemuda yang tidak datang
untuk berkencan.”
“Apakah itu karena terlalu banyak perempuan muda di kota ini?”
“Para pemuda tidak kurang, namun terlalu sedikit pemuda baik.”
“Namun gadis ini sangat cantik parasnya.”
“Bila perempuan jatuh cinta duluan, pasti ia selalu sial.”
“Apakah pemudanya akan muncul?”
“Siapa tahu? Menunggu sungguh menyebabkan orang jadi gila.”
“Untungnya kita sudah melalui masa itu. Pernahkah kau menunggu seseorang?”
“Suamiku yang duluan mencari-cariku. Pernahkah kau menyebabkan seseorang
menunggu?”
“Aku tak pernah lalai mengencani.”
“Kau punya pacar?”
“Begitulah.”
“Lalu mengapa kau tidak menikah?”
“Mungkin nanti.”
“Nampaknya kau tak terlalu mencintainya.”
“Aku merasa kasihan padanya.”
“Merasa kasihan bukanlah cinta. Bila kau tidak mencintainya, jangan terus
membohonginya!”
“Aku hanya membohongi diriku.”
“Itu juga membohongi orang lain.”
“Ayo kita bicara yang lain.”
“Baiklah.”
Perempuan muda itu duduk. Lalu dia tiba-tiba berdiri lagi, melihat ke arah
jalan setapak. Pulasan akhir warna merah yang redup di cakrawala hampir tak
terlihat. Dia duduk lagi, tapi seolah merasa ada orang yang mengawasinya, dia
menundukkan kepalanya dan nampak menggesek-gesek rok di lututnya.
“Apakah pemuda itu akan muncul?”
“Tak tahu.”
“Ini seharusnya tak terjadi.”
“Terlalu banyak hal yang tidak semestinya terjadi.”
“Apa pacarmu cantik?”
“Dia menyedihkan.”
“Jangan bicara seperti itu! Bila kau tak mencintainya, jangan bohongi dia.
Cobalah temukan perempuan muda yang benar-benar kau cintai, gadis yang cantik.”
“Gadis cantik tak akan menyukaiku.”
“Mengapa?”
“Karena aku tak punya ayah yang baik.”
“Jangan bicara seperti itu, aku tak mau mendengarnya.”
“Jadi jangan dengar. Kukira kita harus pergi.”
“Maukah kau berkunjung ke rumahku?”
“Aku seharusnya membawa hadiah untuk putrimu. Itu juga akan berarti ucapan
selamat padamu.”
“Jangan bicara seperti itu.”
“Apanya yang salah?”
“Kau selalu menyakitiku.”
“Aku tidak pernah berniat begitu.”
“Semoga kau bahagia.”
“Aku tak mau mendengar kata-kata itu.”
“Lalu, kau tak bahagia?”
“Aku tak mau membahasnya. Sangat sulit untuk bertemu seperti ini setelah
bertahun-tahun lalu, jadi tidak usah kita membahas hal-hal menyedihkan seperti
itu.”
“Baik, baik, mari kita mengobrol yang lain.”
Perempuan muda itu tiba-tiba berdiri. Seseorang berjalan di jalan setapak,
nampak bergegas.
“Akhirnya dia muncul.”
Itulah pemuda yang membawa tas kanvas. Dia tidak melambatkan langkahnya dan
terus saja berjalan. Perempuan muda itu melengos.
“Itu bukan pemuda yang dia tunggu. Hidup memang seperti itu. Agak aneh.”
“Dia menangis.”
“Siapa?”
Perempuan muda itu duduk, tangan di muka, tangannya diangkat dan nampak
menutupi wajahnya, tapi tidak terlihat jelas. Burungburung berkicau.
“Masih ada burung-burung di sini ya.”
“Tidak hanya hutan yang mempunyai burung-burung.”
“Nah, masih ada burung-burung gereja di sini.”
“Kau sungguh jadi angkuh.”
“Itulah caraku bertahan hidup. Bila tidak menunjukkan sedikitpun keangkuhan
itu, aku mungkin tak ada di sini sekarang.”
“Jangan mencibir begitu. Kau bukanlah satu-satunya orang yang menderita.
Semua orang di negeri ini disuruh bekerja. Kau seharusnya menyadari bahwa
sangat buruk keadaannya untuk perempuan muda yang disuruh bekerja di negeri
yang tak punya sanak keluarga atau kawan. Aku menikah dengan suamiku karena aku
tak punya pilihan yang lebih baik. Orang tuanya mengatur agar aku dikembalikan
ke kota.”
“Aku tak menyalahkanmu.”
“Tidak ada orang yang berhak menyalahkan orang lain.”
Lampu-lampu jalan menyala dan menimbulkan cahaya kuning pucat di antara
dedaunan hijau pohon. Langit malam kelabu dan kabur, bahkan bintang-bintang tak
terlihat jelas di langit kota, menyebabkan cahaya dari lampu jalan yang ada di
antara pepohonan terlalu terang.
“Kukira kita harus pergi.”
“Ya, kita seharusnya tak datang ke sini.”
“Orang mungkin mengira kita sepasang kekasih. Jika suamimu memergoki, dia
tidak akan salah paham kan?”
“Dia bukan orang seperti itu.”
“Jadi, dia orang baik.”
“Kau dapat berkunjung dan tinggal di rumah kami.”
“Hanya bila ia mengundangku.”
“Tidakkah sama bila aku yang mengundangmu?”
“Sialnya aku tak tahu alamatmu. Itulah alasanku mengunjungi tempat kerjamu.
Kalau tidak, aku akan langsung mengunjungi rumahmu.”
“Kau tak perlu memaksakan dirimu ke dalam semua omong kosong itu.”
“Tidak ada perlunya bagi kita untuk menyerang satu sama lain seperti itu.”
“Kau orang yang mengatakan satu hal namun bermaksud lain.”
“Ayo kita bicara yang lain saja.”
“Baiklah.”
Belukar itu menjadi gelap dan perempuan muda itu tak terlihat lagi. Namun,
dengan sinar lampu, kilauan hijau dedaunan poplar putih nampak berpijar. Ada
hembusan angin sepoi-sepoi, dan getaran dedaunan poplar putih berkilauan
seperti kain satin.
“Apa dia telah pergi?”
“Tidak, dia sedang bersandar ke pohon.”
Sebuah pohon besar berdiri beberapa langkah dari bangku batu kosong, dan
seseorang sedang bersandar di situ.
“Sedang apa dia?”
“Menangis.”
“Tak ada gunanya begitu!”
“Mengapa tidak?”
“Tak ada gunanya menangisi pacarnya. Dia seharusnya tak punya masalah dalam
upayanya menemukan lelaki baik yang mencintainya, orang yang layak untuk
cintanya. Seharusnya dia segera pergi.”
“Tapi dia masih berharap.”
“Jalan hidup itu lebar dan dia akan menemukan jalannya sendiri.”
“Apakah kau tahu segalanya? Kau tak mengerti bagaimana perasaan perempuan.
Begitu mudah bagi lelaki melukai seorang perempuan. Perempuan selalu lebih
lemah.”
“Jika dia tahu dirinya lebih lemah, mengapa dia tidak mencoba belajar
menjadi lebih kuat?”
“Kata-kata manis.”
“Tak usah mencari-cari yang menyusahkan. Cukup banyak kekhawatiran dalam
hidup ini. Orang harus mampu menerimanya.”
“Begitu banyak hal yang seharusnya begitu.”
“Kukatakan bahwa orang harus hanya melakukan yang seharusnya mereka
lakukan.”
“Itu sama saja omong kosong.”
“Betul. Aku tak seharusnya menemuimu.”
“Itu juga omong kosong.”
“Baiklah, kita mesti pergi. Akan kubelikan kau makan malam.”
“Aku tak mau makan. Tidakkah kita bisa berbicara hal lainnya?”
“Tentang apa?”
“Bicaralah tentang dirimu.”
“Mari kita mengobrol tentang generasi selanjutnya. Apa nama putrimu?”
“Aku ingin punya anak laki-laki.”
“Punya anak perempuan juga sama.”
“Tidak. Ketika anak laki-laki tumbuh dia tak akan terlalu menderita.”
“Orang di masa depan tak akan menderita banyak, karena kita sudah menderita
untuk mereka.”
“Dia menangis.”
Suara dedaunan berdesir dihembus angin sepoi-sepoi dari atas, tapi suara
tangis jelas terdengar, dan berasal dari arah bangku batu dan pohon itu.
“Kita harus mendekatinya dan menghiburnya.”
“Aku tak sanggup.”
“Tapi kita mesti mecoba.”
“Kau saja yang pergi.”
“Dalam keadaan seperti itu yang tepat bagi seorang perempuan hanyalah
pergi.”
“Dia tak memerlukan pelipur semacam itu.”
“Aku tak mengerti.”
“Kau tak mengerti apa pun.”
“Lebih baik tidak. Sekali kau mengerti, itu menjadi beban.”
“Nah, mengapa kau ingin menghibur orang lain? Mengapa tak kau hibur saja
dirimu?”
“Apa maksudmu?”
“Kau tak mengerti perasaan orang lain. Jika perasaan itu sebuah beban, tidak
mengerti tentu yang paling baik bagimu.”
“Ayo pergi.”
“Maukah kau berkunjung ke rumahku?”
“Tidak ada gunanya.”
“Apakah kita akan berpamitan seperti itu? Aku telah mengundangmu untuk makan
malam besok. Suamiku juga bakal ada.”
“Kupikir lebih baik aku tak datang. Bagaimana menurutmu?”
“Itu sepenuhnya terserah kau.”
Di dalam gelap, suara tangis kian jelas terdengar. Sebentar-sebentar, isak
tertahan bercampur dengan suara getar dedaunan dihembus sepoi-sepoi angin
malam.
“Ketika menikah aku akan menulis sepucuk surat untukmu.”
“Lebih baik kau jangan menulis apa pun.”
“Bila nanti lewat untuk pergi bekerja, mungkin aku mengunjungimu lagi.”
“Lebih baik jangan.”
“Ya, itu sebuah kesalahan.”
“Kesalahan apa yang kau bicarakan?”
“Aku tak semestinya datang menjumpaimu lagi.”
“Tidak, bila kau datang itu tidak keliru!”
“Kita berdua tidak usah dipersalahkan. Kesalahan masa itulah yang harus
dipersalahkan. Tapi semua itu masa lalu dan kita harus belajar melupakannya.”
“Namun sukar melupakan semuanya.”
“Mungkin dengan berlalunya waktu….”
“Kau harus pergi.”
“Maukah kuantarkan ke bis?”
Mereka berdua berdiri. Dari belakang batang pohon kelabu dekat bangku batu
yang kosong dan hampir tidak terlihat, ada isak tak tertahankan. Namun,
orangnya tidak terlihat.
“Menurutmu mungkin kita lebih baik mendesaknya pulang?”
Dedaunan yang menyutra, lembut dan muda di pohon poplar putih itu berkilauan
tertimpa cahaya lampu jalan. (*)
.
.
Gao Xingjian, penulis dan pelukis Cina
yang sejak 1997 menetap di Prancis. Ia meraih Nobel bidang sastra pada tahun
2000. Cerita di atas dialihbahasakan oleh Atep Kurnia dari terjemahan Inggris
Mabel Lee
Tidak ada komentar:
Posting Komentar